Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in

spiderman

Kamis, 14 April 2011

Peter Parker adalah salah seorang siswa SMU yang dikenal memiliki kecerdasan diatas rata-rata, namun karena dandanannya yang tidak 'gaul', ia dicap kutu buku dan kerap jadi bahan lelucon rekannya Flash Thompson. Diam-diam, pemuda ini menyukai kembang sekolah Mary Jane Watson.
Bersahabat akrab dengan Harry Osborn yang adalah putra seorang jutawan, nasib Peter berubah saat ia berkunjung ke sebuah pameran ilmiah. Saat hendak mengambil foto Mary Jane, ia digigit oleh sebuah laba-laba yang telah terkena radiasi. Akibatnya saat sampai dirumah, Peter mengalami demam tinggi.
Namun hal itu hanya berlangsung sehari, keesokannya tubuh Pete berubah total. Tidak hanya itu, ia juga dianugerahi kekuatan baru mulai dari kemampuan super, menembakkan jaring layaknya laba-laba, mampu merayap di dinding, sampai indra perasa yang super peka.
Demi mendapatkan sebuah mobil sport, Peter memutuskan untuk mengikuti sebuah pertandingan gulat. Kecewa karena uang yang didapat tidak sesuai dengan yang dijanjikan, pemuda itu membiarkan seorang pencuri lolos (yang akhirnya malah membunuh sang paman Ben Parker). Sejak itu, ia memutuskan untuk menjadi pembasmi kejahatan dengan nama Spiderman.
Tak terasa beberapa tahun telah berlalu, Peter telah memasuki bangku kuliah sambil bekerja sambilan sebagai fotografer harian Daily Bugle. Bosnya adalah J Jonah Jameson yang terkenal kikir, kerap mencerca hasil jepretannya dan berambisi menjadikan Spiderman sebagai musuh nomor satu kota New York.
Namun kesangaran Jameson tidak sebanding dengan musuh terbarunya yang juga mempunyai kekuatan super : Green Goblin yang ternyata adalah Norman Osborne ayah Harry. Berbeda dengan Spiderman, Green Goblin yang tercipta berkat serum eksperimental berencana untuk menciptakan kekacauan di dunia.
Gagal membujuk Spiderman untuk bergabung, super-villain yang menggunakan flying glider itu berusaha memusnahkannya dengan menyandera Mary Jane Watson. Apalagi, Norman belakangan mengetahui bahwa Peter-lah yang berada di balik topeng Spiderman.

spiderman 2

Tak terasa telah dua tahun berlalu sejak Peter Parker berubah menjadi pahlawan pembela kebenaran Spider-man. Banyak hal yang telah berubah, salah satunya menyangkut gadis yang disukainya Mary Jane Watson. Kini, MJ adalah seorang bintang teater dan model terkenal yang wajahnya terpampang di mana-mana.

Sayang, keberuntungan nampaknya tidak pernah berpihak pada Peter. Ia tidak pernah bertahan lama di satu pekerjaan karena selalu terlambat akibat kegiatannya sebagai Spider-man. Kuliahnya pun nyaris terbengkalai sehingga dosennya Doc Connors memberi peringatan keras. Yang paling parah, sahabat dekatnya Harry Osborn mulai membencinya karena dianggap menutupi rahasia siapa sebenarnya Spider-man, pria yang membunuh ayahnya.
Keadaan semakin rumit saat ia bertemu dengan seorang ilmuwan jenius bernama Otto Octavius, pria yang berusaha menemukan cara untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik namun sebuah kecelakaan malah mengubahnya menjadi psikopat. Akibat empat tentakel robot yang menempel secara permanen pada dirinya, pers menyebutnya sebagai Doctor Octopus.

Peter sendiri mulai muak dengan kehidupan sebagai Spider-man yang membuatnya tidak dapat memperoleh apa yang diinginkannya, terutama setelah mengetahui MJ berencana menikah dengan seorang pria astronot yang ternyata putra bosnya J. Jonah Jameson.
Setelah kekuatannya mulai menghilang, Peter memutuskan untuk berhenti menjadi Spider-man dan mulai mengejar apa yang diinginkannya, salah satunya adalah cinta MJ. Namun niat tersebut mendapat berbagai halangan. Doc Ock yang ingin meneruskan eksperimen gilanya berusaha mencari benda langka tritium yang hanya bisa diperoleh dari OsCorp, dan Harry dengan cerdik memintanya barter dengan sosok Spiderman dalam keadaan hidup.

Dalam waktu singkat, terjadi pertempuran besar-besaran yang melibatkan adegan aksi di kereta api yang sedang melaju. Peter kembali menjadi Spider-man demi menyelamatkan kota namun ia berhasil ditawan Doc Ock. Akankah Harry mengetahui siapa Spider-man sesungguhnya?

Bagi Anda yang telah menyaksikan Spider-man pertama, sudah pasti sekuel keduanya telah ditunggu karena menghadirkan pertarungan yang jauh lebih dahsyat dibanding seri pertama. Tidak hanya itu, sutradara Sam Raimi juga memberikan sentuhan kemanusiaan dimana tokoh Peter Parker mengalami dilema antara tugas superhero yang diembannya dengan keinginannya sebagai manusia biasa.
Sama seperti sebelumnya, Peter Parker diperankan oleh Tobey Maguire, Mary Jane Watson oleh Kirsten Dunst, Rosemary Harris sebagai May Parker, James Franco sebagai Harry Osborn, dan JK Simmons memerankan Jonah Jameson. Stu-satunya tokoh utama baru yang muncul adalah Alfred Molina si Doctor Octopus.

Sejauh mana Spider-man mampu meraup keuntungan di box-office? Kabar terakhir menyebutkan, Spider-man 2 telah mencatat pendapatan kotor sebesar 180,1 juta dolar dalam enam hari pemutarannya di Amerika Serikat. Go get 'em, tiger...............

spiderman 3


GENRE : Aksi/Laga Petualangan Sains Fiksi
PEMAIN : TOBEY MCGUIRE, KIRSTEN DUNST, JAMES FRANCO, THOMAS HADEN CHURCH, TOPHER GRACE
SUTRADARA : Sam Raimi
PENULIS NASKAH : Stan Lee (Marvel Comic Book), Ivan Raimi (screenplay) Sam Raimi, Steve Ditko, Sam Raimi (story) Stan Lee (Marvell Comic) Ivan Raimi, Sam Raimi, Steve Ditko, Alvin Sargent
PRODUSER : Avi Arad, Stan Lee, Joseph M. Carraciolo Jr
RUMAH PRODUKSI : Columbia Pictures
DURASI : -
KLASIFIKASI PENONTON : Segala Umur
TANGGAL RILIS : Internasional: 4 Mei 2007, Jepang, China, Korea: 1 Mei 2007 Indonesia: 2 Mei 2007

SINOPSIS :
Peter Parker akhirnya berhasil mengimbangi antara cintanya kepada M. J. dan kewajibannya sebagai seorang pahlawan super. Namun angin topan bertiup di cakrawala. Saat jubahnya tiba-tiba berubah menjadi hitam pekat dan meningkatkan kekuatannya, bahkan mengubah pribadi Peter, mengeluarkan sisi gelap dan dendam yang tak dapat ia kendalikan. Di bawah pengaruh jubah tersebut, Peter bertingkah laku berlebihan dan mulai menelantarkan orang-orang yang sangat peduli padanya
Dipaksa untuk memilih antara kekuatan hebat dari jubah barunya dengan pahlawan penuh kasih sayang, Peter harus mengatasi setan dalam dirinya sebagai wujud dua penjahat yang paling dibenci, Sandman dan Venom, mengumpulkan tenaga yang haus akan ancaman terhadap Peter dan orang-orang yang ia cintai.

spiderman 4



  Film spiderman 4 akan segera hadir untuk anda semua, setelah kita disuguhi alur cerita yang cukup menarik pada Film spiderman 1, 2 serta 3 maka awal tahun 2010 ini akan hadir untuk ada sekalian skuel Film spiderman 4 yang akan menemani saat liburan dan santai anda untuk melihat aksi dari eter Parker ini, cerita atau sinopsis Film spiderman 4 ini mungkin akan sedikit berkembang karena permintaan dari Tobey Maguire yang sudah 3 kali memerankan sosok pemuda lugu namun menyimpan kekuatan besar tersebut. Pada Spiderman 4 ini, sang pahlawan akan berhadapan dengan Lizard dan sepertinya akan menjadi satu2nya lawan berat Spiderman pada sekuel kali ini.

Dalam Spiderman 4, tokoh peter Parker akan terlihat lebih dewasa dan sedikit meninggalkan sifat egois dan kekanak-kanakannya. Karena itu harus ada penggalian karakter kembali yang harus dilakukan oleh Tobey Maguire agar para fansnya tidak bosan dengan penampilannya. Sementara dari balik layar, ternyata ada gosip yang menyebutlkan bahwa ada percintaan yang mulai tumbuh dalam diri Rachel McAdams dan pemeran tokoh Peter Parker tersebut. Karena itu, nantikan saja kehadiran Spiderman 4 dengan segudang cerita dan aksi yang pastinya akan membuat anda tidak ingin keluar dari gedung bioskop sampai film tersebut usai

Sebagai tokoh penunjang cerita, Sam Raimi, Kirsten Dunst dan Rachel McAdams akan turut menghidupkan film yang selalu menjadi box office dan buruan para pecinta free download ini. Karena itu jangan heran jika nantinya sebelum perilisan sudah banyak terdapat link download gratis Spiderman 4 di internet. Thriler, sinopsis dan profil para tokoh yang terlibat dalam film yang diangkat dari komik laris tersebut juga turut laris manis diserbu penggemarnya diseluruh dunia

Kita nantikan saja pemutaran Film spiderman 4 ini ditanah air karena pastinya Spaiderman 4 the movie akan segera menggebrak penggemar super hero satu ini

foto

Rabu, 13 April 2011

















timnas indonesia 2010






Pelatih timnas senior Alfred Riedl telah menetapkan 25 pemain yang akan memperkuat tim Merah Putih di Piala AFF 2010 pada 1-29 Desember mendatang di Jakarta dan Hanoi.

Deputi bidang teknis Badan Tim Nasional [BTN] PSSI Iman Arif mengatakan, ke-25 pemain itu tidak mengalami perubahan hingga pelaksanaan Piala AFF nanti. Pergantian hanya dilakukan bila ada pemain yang mengalami cedera.

Awalnya BTN telah mengirimkan 30 nama ke panitia Piala AFF untuk skuad timnas. Dengan penetapan 25 pemain itu, maka lima pemain yang tak terpilih berstatus ‘stand by’.

Lima nama yang tak masuk ke dalam daftar 25 pemain adalah kiper Persiba Balikpapan I Made Wirawan, bek Supardi [Sriwijaya FC] dan Yesaya Desnam [Persiwa Wamena], serta striker Johan Juansyah [Persijap Jepara] dan Dendi Santoso [Arema Indonesia].

“Kelima pemain itu tidak kami coret. Mereka akan tetap masuk ke dalam skuad jika ada pemain yang cedera menjelang atau ketika Piala AFF digulirkan. Ini juga untuk mempermudah pergantian pemain saat Piala AFF berlangsung,” ujar Iman.

Pelatnas Piala AFF tahap terakhir akan dimulai pada 8 November. Serangkaian uji coba sudah disiapkan menjelang turnamen dua tahunan tersebut.

Skuad Timnas Indonesia Di Piala AFF 2010 :



Kiper: Markus Horison [Persib Bandung], Ferry Rotinsulu [Sriwijaya FC], Kurnia Meiga [Arema Indonesia].

Belakang: Zulkifli [Arema Indonesia], Benny Wahyudi [Arema], Nova Arianto [Persib], Maman Abdurahman [Persib], Hamka Hamzah [Persipura Jayapura], M Roby [Persisam Samarinda], M Nasuha [Persija Jakarta], Slamet Riyadi [Persela Lamongan].

Tengah: M Ridwan [Sriwijaya FC], Arif Suyono [Sriwijaya FC], Toni Sucipto [Persija], Firman Utina [Sriwijaya FC], Eka Ramdani [Persib], Ahmad Bustomi [Arema Indonesia], Hariono [Persib], Oktovianus Maniani [Sriwijaya FC], Oktavianus [Persija].

Depan: Christian Gonzales [Persib], Irfan Bachdim [Persema Malang], Boas Salossa [Persipura], Bambang Pamungkas [Persija], Yongky Aribowo [Arema].

alfred riedl

Foto Alfred Riedl Merah Putih Piala AFF 2010Pelatih Timnas Indonesia Alfred Riedl, ya mari kita mengenal lebih jauh Alfred Riedl yang kini menjadi sosok penting dibalik penampilan gemilang Timnas Indonesia di ajang Piala AFF 2010, turnamen resmi pertamanya bersama Timnas Merah Putih sejak dipilih untuk menjadi pelatih Indonesia pasca Benny Dollo.
Walau baru membawa Indonesia masuk final Piala AFF 2010 dan belum memastikan juara karena partai final melawan Malaysia baru akan berlangsung 26 dan 29 Desember 2010 nanti, sejauh ini apa yang dilakukan Alfred Riedl untuk Timnas Indonesia sudah terbilang luar biasa. Disiplin, taktik, ketegasan dan wibawanya mampu mengangkat kualitas baik teknis maupun moral timnas. Dan tentu kita berharap, kegemilangan Alfred Riedl bersama Timnas Indonesia berakhir dengan tropi Juara Piala AFF 2010!
Alfred Riedl (lahir di Wina, Austria, 2 November 1949; umur 61 tahun) adalah seorang pelatih sepak bola dan mantan penyerang asal Austria. Sejak April 2010, ia resmi dikontrak oleh PSSI selama 2 tahun untuk bertugas sebagai Pelatih Timnas Indonesia.

Karier Klub

Alfred Riedl mengawali karier sebagai pemain sepak bola di klub lokal Austria yaitu FK Austria Wien dan kemudian ia memutuskan untuk meninggalkan Austria untuk bermain di klub Belgia Sint-Truiden pada usia ke 22 tahun. Setelah itu ia bermain selama 8 musim dalam Jupiler League (2 musim dengan Sint-Truiden, 2 musim dengan Royal Antwerp dan 4 musim bersama Standard Liège), kemudian Riedl sempat menikmati bermain untuk FC Metz di Perancis. Dia kembali ke Austria setelah setengah musim untuk bermain di Grazer AK dan kemudian bermain untuk Wiener Sportclub dan VfB Admira Wacker Mödling. Dia menyelesaikan musim dengan gemilang setelah meraih dua kali gelar sebagai pencetak gol terbanyak di Jupiler League.

Karier Internasional

Alfred Riedl telah 4 kali bermain untuk Timnas Austria, dan membuat debutnya pada bulan April 1975 melawan Timnas Hungaria.

Karier Kepelatihan

Pelatih Klub

Karier kepelatihan Riedl di klub diawali dengan melatih klub asal MarokoMesir Al-Zamalek tahun 1994-1995, kemudian Al Salmiya klub asal Kuwait, tahun 2001-03. yaitu Olympique Khouribga pada tahun 1993-1994, setelah itu ia melatih klub asal

Pelatih Tim Nasional

Riedl mengawali karier sebagai pelatih ketika ia ditunjuk untuk menangani Austria pada tahun 1990-1992 , lalu Liechtenstein tahun 1997-1998, Palestina tahun 2004-05, Vietnam tahun (1998-2001, 2003-04, 2005-2007), dan Laos (2009). Pada Piala Asia AFC 2007, ketika ia melatih Vietnam dan mengantarkan kemenangan 2-0 atas UEA dan membantu tim Vietnam untuk bisa lolos sampai ke perempat final untuk pertama kalinya dalam sejarah negara itu. Sayangnya, pada akhir tahun 2007, setelah kinerjanya dianggap buruk pada ajang SEA Games 2007, dia pun dipecat dan digantikan oleh pelatih Henrique Calisto dari Portugal. Pada Oktober 2008, ia kembali ke Vietnam sebagai pelatih klub Xi Mang Hai Phong FC. Namun ia hanya bertahan 3 pertandingan saja karena kinerja yang dianggap buruk, dia pun diberhentikan. Pada tanggal 9 Juli 2009, ia menandatangani kontrak sebagai pelatih kepala Laos, kontrak berjalan dua tahun. Pada tanggal 4 Mei 2010, Ketika dalam perjalanan ke Austria Alfred Riedl dihubungi dan kemudian ditunjuk sebagai pelatih baru dari Timnas Indonesia untuk melatih tim senior dan tim U-23. Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) mengatakan melalui website mereka pada hari Selasa, bahwa Riedl akan resmi memulai pekerjaan barunya pada akhir pekan ini.

Gelar (sebagai pemain)

Gelar Klub

  • Austrian Football Bundesliga
    • 1969, 1970
  • Austrian Cup
    • 1971, 1981

Gelar pribadi

  • Austrian Bundesliga Top Goalscorer
    • 1972 [1]
  • Jupiler League top scorer
    • 1973, 1975

timnas indonesia 2008

Indonesia
Lambang asosiasi
Julukan
Merah Putih
Asosiasi
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia
Konfederasi
AFC (Asia)
Pelatih
Benny Dollo
Kapten
Charis Yulianto
Penampilan terbanyak
Bambang Pamungkas (87)
Pencetak gol terbanyak
Bambang Pamungkas (34)
Stadion kandang
Stadion Utama Gelora Bung Karno
IDN
137
Peringkat FIFA tertinggi
76 (September 1998)
Peringkat FIFA terendah
153 (Desember 2006)

Pertandingan internasional pertama
 Cina 2 - 0 Hindia-Belanda 
(Filipina; 5 Mei 1934)
 India 3 - 0 Indonesia 
(India; 4 Mei 1951)
Kemenangan terbesar
 Indonesia 13 - 1 Filipina 
(Jakarta, Indonesia; 23 Desember 2002)
Kekalahan terbesar
 Denmark 9 - 0 Indonesia 
(Kopenhagen, Denmark; 3 September 1974)
Penampilan
1 (Pertama kali pada 1938)
Hasil terbaik
Babak 1 (1938, sebagai Hindia-Belanda)
Penampilan
4 (Pertama kali pada 1996)
Hasil terbaik
Babak 1 (1996, 2000, 2004, 2007)

Tim nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria, yang hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan mereka di turnamen final Piala Dunia. Indonesia, meski merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, tidak termasuk jajaran tim-tim terkuat di AFC.
Di kancah Asia Tenggara sekalipun, Indonesia belum pernah berhasil menjadi juara Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi Indonesia hanyalah tempat kedua di tahun 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun Indonesia jarang meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991.
Di kancah Piala Asia, Indonesia meraih kemenangan pertama pada tahun 2004 di China setelah menaklukkan Qatar 2-1. Yang kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan skor yang sama tahun 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Dalam kualifikasi ke Piala Dunia 2010, Indonesia tidak mampu lolos ke fase ketiga kualifikasi Piala Dunia 2010 setelah takluk di tangan Suriah dengan agregat 1-11. Tim nasional Indonesia U-23 pun juga mengalami kegagalan di SEA Games ke-24 di Thailand; setelah takluk dari Thailand di pertandingan babak penyisihan grup yang terakhir

Kostum

Kostum tim nasional Indonesia tidak hanya merah-putih sebab ada juga putih-putih, biru-putih, dan hijau-putih. Menurut Bob Hippy, yang ikut memperkuat timnas sejak tahun 1962 hingga 1974, kostum Indonesia dengan warna selain merah-putih itu muncul ketika PSSI mempersiapkan dua tim untuk Asian Games IV-1962, Jakarta.
Saat itu ada dua tim yang diasuh pelatih asal Yugoslavia, Toni Pogacnic, yakni PSSI Banteng dan PSSI Garuda. Yang Banteng, yang terdiri dari pemain senior saat itu, seperti M. Zaelan, Djamiat Dalhar, dan Tan Liong Houw, selain menggunakan kostum merah-putih juga punya kostum hijau-putih. Sedangkan tim Garuda, yang antara lain diperkuat Omo, Anjik Ali Nurdin, Ipong Silalahi, dan saya sendiri, juga dilengkapi kostum biru-putih. Tetapi, setelah terungkap kasus suap yang dikenal dengan "Skandal Senayan", sebelum Asian Games IV-1962, pengurus PSSI hanya membuat satu timnas. Itu sebabnya, di Asian Games IV-1962, PSSI sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa karena kemudian kedua tim itu dirombak. Selanjutnya digunakan tim campuran di Asian Games.
Mulyadi (Fan Tek Fong), asisten pelatih klub UMS, yang memperkuat timnas mulai tahun 1964 hingga 1972, menjelaskan bahwa setelah dari era Asian Games, sepanjang perjalanan timnas hingga tahun 1970-an, PSSI hanya mengenal kostum merah-putih dan putih-putih. Begitu juga ketika timnas melakukan perjalanan untuk bertanding di sejumlah negara di Eropa pada tahun 1965. Saat itu setiap kali bermain, kita hanya menggunakan merah-putih dan putih-putih dengan gambar Garuda yang besar di bagian dada hingga ke perut. Seragam hijau-putih kembali digunakan saat mempersiapkan kesebelasan pra-Olimpiade 1976, dan kemudian digunakan pada arena SEA Games XI-1981 Manila. "Begitu juga ketika Indonesia bermain di Thailand, di mana saat itu Indonesia menjadi runner-up Kings Cup 1981," kata Ronny Pattinasarani yang memperkuat PSSI tahun 1970-1985.

Skuad Timnas Indonesia



ramuan ajaib

terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.
Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.
“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.
“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.
Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.
Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.
“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”
“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.
“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.

malam malam nina

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu.

peradilan rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

arif suyono

Selasa, 12 April 2011

Arif Suyono dilahirkan di Batu, Malang, 26 tahun silam. Dirinya merupakan putra asli daerah penghasil apel tersebut.

Arif memperdalam ilmu sepakbolanya di SSB Wastra Indah pada tahun 2000 silam. Hanya setahun disana, Arif ditarik untuk memperkuat klub lokal PS Putra Jaya Batu pada tahun 2001. Di tahun yang sama, Arif hijrah ke klub elit Arema, ia masuk ke dalam tim junior klub tersebut. Pada tahun 2002, Arif kembali pindah klub. Kali ini, ia memperkuat tim junior klub elit kota Malang lainnya, Persema.

Di Persema karir Arif sebagai pesepakbola profesional dimulai. Kemampuannya membuat dirinya ditarik untuk memperkuat tim inti klub tersebut. Selama 2 tahun Arif berjibaku bersama Persema Malang, akhirnya pada tahun 2004, Arif menandatangani kontrak dengan klub elit Arema. Di klub inilah Arif bersinar cemerlang. Selama 4 musim (2005-2009) dirinya memperkuat tim kebanggaan Aremania itu. Ia pun ikut mengantarkan Arema juara Copa Indonesia dua kali berturut-turut tahun 2005 dan 2006.

Namun pada awal musim 2010, Arif memutuskan untuk pindah ke klub asal Palembang Sriwijaya FC. Alasannya, ia ingin merasakan puncak karir. Maklum, pada awal musim ini, Sriwijaya menjadi tim paling disegani di ISL.

Kecemerlangan Arif di level klub membuat dirinya terpanggil untuk memperkuat tim nasional Indonesia. Arif sempat memperkuat timnas U19 dan U23 sebelum akhirnya masuk jajaran pemain timnas senior. Dirinya menjadi salah satu dari 22 pemain yang dipanggil untuk bertarung di AFF Cup 2010.

Terbukti pemilihan tersebut tepat. Arif semakin bersinar di tim nasional Indonesia. 2 gol telah dibukukannya di ajang AFF. Uniknya, keduanya dibuat pada saat ia berstatus sebagai pemain pengganti. Predikat ‘supersub’ pun kini disandangnya. Pemain jangkung ini juga masuk jajaran top skorer piala AFF 2010 bersama 3 pemain timnas lainnya, yakni M.Ridwan, Irfan Bachdim dan Firman Utina.

Arif berposisi sebagai sayap kanan. Pemain berjulukan ‘Keceng’ ini memiliki kecepatan, stamina dan akselerasi di atas rata-rata. Selain itu, positioningnya juga baik. Satu gol yang dilesakkannya ke gawang Laos menjadi bukti bagaimana bagusnya penempatan posisi pemain ini. Keceng juga dikenal memiliki permainan yang stabil dan konsisten. Umpan-umpannya sering memanjakan barisan penyerang timnya.

Arif Suyono telah menjelma menjadi salah satu pemain kunci tim nasional. Meskipun tidak tampil sebagai starter, lawan manapun pasti akan jeri melihat aksi dan ketajamannya. Tidak menutup kemungkinan Arif masih dapat berprestasi lebih di kancah sepakbola nasional, mengingat ia baru menyentuh usia kematangan seorang pesepakbola.

Kita nantikan kejutan lagi dari Arif di ajang AFF. Go Keceng!

Profil singkat Arif Suyono:

Nama lengkap : Arif Suyono

Nama beken : Keceng

Tempat / Tanggal Lahir : Batu, Malang / 3 Januari 1984

Tinggi: 174 cm

Posisi: Gelandang sayap

Karir:

Klub

SSB Wastra Indah (2000)

PS Putra Jaya Batu (2001)

Arema Jr (2001)

Persema Jr (2002)

Persema Malang (2003-2004)

Arema Malang (2005-2009)

Sriwijaya FC (2010-sekarang)

Timnas

Timnas U-19 (2004)

Timnas U-23 (2007)

Timnas Senior (2010-sekarang) (16 main /4 gol).

m. nasuha

Full name : Mohammad Nasuha
Date of birth : September 15, 1984
Place of birth : Tangerang, Indonesia
Height : 1.72 m (5 ft 7 1⁄2 in)
Playing position : Defender
Current club : Persija Jakarta
Number 22
Senior career
Persikota
Sriwijaya FC
Persija Jakarta
National team
2009- Indonesia

muhammad Nasuha was raised by the club's name is nicknamed this magical baby, because a good game together persikota Tanggerang mulau name is known by the public, after a long wearing persikota Tanggerang muhhamad Nasuha continue his career with the Sriwijaya FC, although not always the top choice by coaches Sriwijaya but it did not deter her, because she could obtain Sriwijaya fc league title and Coppa Indonesia Indonesia, Rahmat Darmawan's move along to the capital city, Nasuha started to follow the footsteps of his coach, the decision to follow the footsteps of his coach finally sweet fruit, in addition to good penampilanya with Liverpool, now daia also become an important part of the red and white squad who are competing in the AFF Cup, Nasuha was irreplaceable in red and white squad, he has always been a major pilahan coach and always believed in full play in every game, because its contribution in the left sector Indonesia is now able to reach the top party and the chance to get trophies AFF AFF Cup title for the first time.